Saturday, July 11, 2015



Hai, 
Ini pertama kalinya gue posting sesuatu yang bukan berhubungan dengan sastra ataupun cerita di blog ini.
Tulisan ini gue buat, awalnya dari hubungan gue dengan sang kekasih (ceilah!).

Jadi, pacar gue bilang, kalau ada beberapa tindakan gue yang rada so sweet and she’s happy with that. Dia juga cerita kalau dulu selama pacaran dengan mantan-mantan dia, dia gak pernah diperlakuin kayak gini.

Dan gue seneng dong. Jadi berasa spesial-spesial gitu deh, kayak martabak ovomaltine keju (apa sih..!).
Tapi hal ini, bikin gue mikir, jangan-jangan sebenernya masih banyak cowok yang kesulitan untuk mengekspresikan rasa sayang dia ke pacarnya. Hal ini yang bikin gue tergerak untuk bikin postingan ini.

Postingan ini rencananya bakal gue bikin beberapa part, gak ada alesan spesifik sih, cuma pengen jumlah postingan di blog gue banyak aja (ha..!). Dan di setiap part itu mungkin ada satu atau mungkin beberapa tips yang bakal gue kasih, tergantung mood aja.
Okay, langsung aja.

Here it is, the first one.

The Voice Note

Gue bukan orang yang bener-bener paham tentang perempuan macam si Om Ronald Frank atau para master Hitman System, tapi setidaknya gue tahu cara bikin orang yang gue sayang nyaman sama gue.

Caranya sih sebenernya simpel : lo jangan takut berbuat hal yang mungkin rada malu-maluin kalo ketauan orang lain.

That’s it. 

Hal malu-maluin ini bukan hal yang literally bikin malu ya,  misalnya lagi di dalem lift yang sesak, eh lo malah kentut, udah suaranya keras, bau lagi, terus ditatap sinis sama semua orang di dalem lift. Bukan, bukan malu itu yang gue maksud.


Hal rada malu-maluin yang gue maksud adalah gimana lo mengekspresikan rasa sayang lo dengan melakukan hal-hal yang bikin kekasih lo ketawa.

Hal ini gak selalu hal yang lo lakuin di depan umum, tapi bisa juga hal yang cuma lo lakuin kalo di depan dia aja, atau hal yang cuma lo berdua yang tahu.

Salah satu contoh yang bakal gue kasih di sini adalah : Voice Note.

Voice Note bisa di kirim via whatsapp, line, BBM, atau segala macem aplikasi yang bejibun macemnya.

Apa yang bisa dikirim? Macem-macem.
Nah, ini yang bener-bener bakal ngandelin kreatifitas lo. Bisa hal yang simpel kayak ucapan selamat pagi, ucapan semangat, atau bahkan rekaman lo nyanyi.

Dan lo gak harus jago nyanyi macem Sammy Simorangkir atau kayak abang gue, si Afgan, buat ngirim voice note ke pacar.
Suara cempreng kayak gue aja pede aja kok nyanyi gak jelas dan dikirim ke pacar.

And she appreciate it.




Yang penting itu, gimana cara lo ngebuat dia ngerasa spesial melalui voice note yang lo kirim, dan gue juga yakin kok, kalo lo ngelakuinnya dengan bener dan situasinya pas, dia bakal ngehargain usaha lo.


So, jangan ragu buat ngirim voice note ke pacar lo, karena yang penting itu bukan voice note-nya, tapi usahanya.
It’s all about gesture.

Okay, mungkin segitu dulu dari gue. Mudah-mudahan tema postingan ini bakal berlanjut terus.

Oh ya, selalu inget : Do it randomly.
Baca situasi, lo gak perlu nunggu anniversary atau momen spesial buat ngelakuin hal-hal spesial untuk kekasih lo. Dan yang terakhir adalah usaha. Selama lo ada usaha buat nyenengin orang yang lo sayang, gue yakin hubungan lo akan berjalan lancar.

Segitu dulu dari gue, sampai ketemu di part selanjutnya. Kalau lo punya pendapat lain, atau punya trik yang bisa dibagi, silakan sharing di comment ya...  (^o^)

Sunday, May 31, 2015



Joko memutuskan untuk pulang setelah lima tahun berlalu. Dia yakin kabar kepulangannya telah diketahui warga kampung. Selama ini Joko memang tidak pernah menghubungi kampungnya. Malu sebelum menjadi orang sukses, membuat Joko hanya sekedar bersurat dan sesekali mengirimkan uang kepada adiknya. Namun apa daya, rasa rindu mematahkan egonya dan Joko pun memutuskan untuk pulang.

Hari yang ditunggu pun tiba, Joko yang terlelap di dalam kereta terbangun oleh sinar mentari yang menyeruak jendela kereta. Dengan mata yang masih berat, Joko membawa tasnya sembari berjalan keluar dari stasiun.  Setibanya di gerbang stasiun, ia tertegun dengan keadaan yang dilihatnya. Rasa kaget menghilangkan lelah dan kantuk yang tadi ia rasakan.

Ada yang berbeda dari kampungnya. Mentari yang dulu ramah, sekarang teriknya seolah tak berbeda dengan gurun sahara.  Jalan di depan stasiun yang dulunya hanya berupa tanah sekarang berlapiskan aspal. Jalan yang dulunya rindang, kini penuh dengan toko dan bangunan yang menghimpit jalan diramaikan kendaraan yang berlalu-lalang.

Dengan sedikit ragu, Joko pun berjalan mengikuti jalanan aspal yang tidak dikenalnya. Joko memang selalu berjalan dari stasiun untuk pulang. Berteduhkan pohon, sembari menatap hamparan gunung di kejauhan. Namun, itu tinggal kenangan. Sekarang ia berjalan di bawah teriknya matahari, tanpa perlindungan pepohonan yang dulu setia menemani.

Joko memperhatikan sekelilingnya. Rumah adat berbahan kayu yang menonjolkan kepribadian sukunya yang sederhana dan bersahaja tidak nampak lagi, berganti dengan rumah tembok nan angkuh khas ibukota yang seolah menertawakan setiap detik ingatan masa kecilnya yang berputar di dalam kepala.

Pandangan Joko beralih ke deretan tembok beton di seberang jalan. Tembok yang mengelilingi lahan kosong tempat ia dulu biasa bermain. Di balik tembok terlihat traktor dan alat-alat berat berkeliaran yang suara dan derungannya seolah menambah robekan pada lembar memori di benaknya.

Mata Joko berhenti di sebuah warung. Warung tenda beratapkan terpal dan bertembok kain yang terasa sangat bersahabat di tempat yang tidak lagi dikenalnya ini. Sembari tersenyum, Joko mempercepat langkahnya, tak sabar ingin segera bertemu wajah familiar di warung itu.

“Bu Ning,” kata Joko dengan wajah sumringah setibanya di warung itu,”nasi uduknya satu ya, Bu”.

“Eh Mas Joko kan?” kata Bu Ning melihat wajah Joko, “Ya ampun, Mas, apa kabar?kok lama enggak kelihatan?”

“Iya Bu, sekarang saya kerja di Jakarta, baru sempat pulang,” jawab Joko sembari duduk di kursi.

“Silahkan, Mas,” kata Bu Ning sambil menghidangkan nasi uduk di atas meja di hadapan Joko.
“Bu,” kata Joko menahan langkah wanita tua itu.

“Kok sekarang di sini kelihatan maju banget ya?” tanya Joko seolah tak sabar untuk mendapat penjelasan atas kondisi kampungnya.

“Oh iya, Mas, sekitar lima tahun lalu, di kabupaten sebelah ada tambang batu bara, Mas,” jawab Bu Ning dengan berseri-seri,” alhamdulillah, kampung sini kecipratan”.


Jawaban Bu Ning seakan menghilangkan nafsu makan Joko. Tatapannya kembali mengarah ke lapangan tempat ia dulu bermain. Kampung yang sangat ia rindukan telah berbeda. Terasa akrab, namun juga asing di saat yang sama. Joko tersadar. Mungkin ia rindukan bukanlah kampungnya. Mungkin yang ia rindukan adalah setitik jejak kenangan yang dulu ia pernah rasakan. Kenangan yang kini hanya bisa dia simpan di dalam ruang imajinasi.

*****


Monday, May 25, 2015


Setiap antagonis di kehidupanmu, adalah protagonis di kehidupannya. 
Selalu ada cerita di tiap tindakan mereka. 
Cerita yang tidak kita ketahui,
atau kita yang memilih untuk tidak peduli.

Friday, May 22, 2015



Kulihat dia terduduk di kursi goyang itu.
Lagi.
Seperti hari yang telah berlalu.

Dulu dia tidak begini.
Dia kini tinggal separuh.
Setengah jiwanya yang telah direnggut Tuhan seolah menghentikan kehidupannya.
Melewati hari terduduk di kursi itu.
Sorot matanya yang ditempa kehidupan.
Menatap nanar di kejauhan.

Aku tahu yang dipikirkannya.
Di dalam pembuluh otaknya pasti berputar memori bersama sang belahan jiwa.
Lagi.
Dan lagi.

Aku tahu semua ceritanya.
Setelah ribuan patrian dalam ingatanku.
Mulai dari pertemuan pertama yang malu-malu hingga perikatan suci penuh air mata haru.
Aku tidak ingat kapan cerita pertama.
Hanya yang terakhir yang meresap hingga ke dalam jiwa.

Cerita terakhir tidak pernah biasa.
Cerita yang biasanya diiringi senyuman, kini ditemani dengan uraian air mata.
Cerita yang membungkam sang pendengar karena diceritakan dengan jiwa yang tersisa.
Cerita yang tertutup oleh isak tangis sang pencerita yang menggali kembali tiap kenangan dengan jiwanya yang tinggal separuh.
Cerita terakhir yang merenggut senyuman sang pencerita dan membuatnya akrab dengan hening.

Setengah abad.
Lebih dari separuh hidupnya dihabiskan bersama sang belahan jiwa.
Jika separuh hidup kita habiskan bersama seseorang, kita tak kan pernah tahu cara hidup tanpa mereka.

Tangan kirinya meraih jemari manis kanannya.
Menggenggam erat benda berkilau, tanda bukti cinta suci mereka.
Dia menutup matanya.
Memasuki dunia di dalam kepalanya dimana sang belahan jiwa masih berada di sisinya.
Dunia dimana Dia memulai kembali kisah cintanya dengan sang belahan jiwa.

Saat itu dia masih seorang  pemuda.
Pemuda sederhana yang terpana dengan kecantikan seorang wanita.
Terpana dengan senyuman sang belahan jiwa yang belum diketahuinya.
Dia merasakan hal yang tidak biasa.
Ada yang berbeda dalam diri gadis itu.
Mungkin jiwanya yang mengintip wahyu Tuhan berbisik bahwa dialah sang belahan jiwa.

Dia pun masih ingat.
Ingat kata-kata pertama yang diucapkan sang gadis kepada dirinya.
Kata yang hanya sekedar basa basi tapi sanggup membuatnya tersenyum hingga esok pagi.

Dia membuka matanya.
Sejenak kembali ke dunia nyata.
Demi menjaga kewarasan dirinya.
Dia menyandarkan badannya dan menatap meja di hadapannya.
Tempat secangkir kopi hangat yang dulu selalu menemani.
Namun kini tak pernah lagi tersaji.

Dari kejauhan panggilan Tuhan berkumandang.
Memanggil kembali dirinya ke dunia yang tak ingin lagi ditinggali.
Dunia dimana dia kembali sendiri.
Dia pun membangkitkan tubuhnya yang telah renta dan menuju kamar tidurnya.
Kamar yang kini terasa terlalu luas dan sepi.

Aku tahu yang akan dilakukannya.
Dia akan menghadap Tuhannya.
Memberikan pujian dan penghormatan yang tidak pernah terlambat dia lakukan sepanjang masa hidupnya.
Aku tahu isi hatinya.
Dia sebenarnya ingin mengutuk Tuhannya.
Tuhan yang telah memisahkan dirinya dengan sang belahan jiwa.

Tapi dia tidak mampu.
Karena di dasar jiwanya dia tahu, bahwa cinta Tuhan pulalah yang menyempurnakan cintanya.
Dia menengadahkan tangannya dan memohon.
Memohon kepada sang Penguasa untuk mempertemukannya kembali dengan sang belahan jiwa.
Mempersatukan mereka kembali di alam sana.

Dia sudah tidak tahan.
Tidak tahan dengan rumah yang sudah terlalu sepi dan sunyi.
Sudah takluk dengan kursi disebelahnya yang tidak pernah terisi lagi.
Sudah menyerah kalah dengan kesendirian dan hati yang telah hampa.
Matanya berkaca-kaca dan air mata pun meleleh dipipinya.
Dia sudah puas memohon.
Dia sudah lelah memohon.

Dia membangkitkan tubuhnya dan merebahkannya di pembaringan.
Pembaringan yang sekarang hanya diisi oleh dirinya sendiri.
Dia sudah lelah.

Dia pun menutup matanya, dan tak pernah membukanya lagi.

Tuesday, May 20, 2014


Cinta itu bukan dongeng.
Cinta tidak hanya soal pandangan pertama dan hidup bahagia selamanya.
Cinta itu bisa bertepuk sebelah tangan. Tidak berbalas.
Malah terkadang kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa cinta tulus kita hanya dianggap sebagai selingan semata yang dapat dibuang begitu saja.

Well, that is love. In real life.

Mungkin kita sudah mengorbankan seluruh jiwa raga kita untuk seseorang, tapi tanpa kita ketahui dia telah memilih orang lain.

And that’s suck.

Cinta itu soal pengorbanan, tapi bukan cuma soal pengorbanan.
Cinta itu soal pengorbanan kepada seorang yang memang pantas. Orang yang juga rela berkorban demi kita.
Cinta itu bukan masalah obsesi. Jangan sampai obsesi dan ambisi terhadap yang fana membutakan cinta tulus disekitar kita.


Karena pada akhirnya cinta bukanlah lomba. Cinta itu hanya sebuah perjalanan menuju senja yang kita lalui dengan bergenggaman tangan.


Untuk Abang A.
Pria yang baik untuk wanita yang baik, jangan pernah berhenti menjadi baik :)